Terduduk, termangu sendiri disore hari menatap langit lewat
celah jendela, gelap serasa berpeluk
erat bersama langit hingga menutupi biru sang langit. Itu yang selalu kulakukan
saat sore. Tapi sore ini berbeda, sore itu lembayung senja menyapa beriring
senyum ronanya, sungguh indah. Bahkan sangat indah. Hanya terpana, tanpa
kedipan sedikitpun. Menatap langit menengadah dagu. Yaa.. Itulah kebiasaanku.
Tiba-tiba
aku tersontak bingung ketika melihat siluetnya tergambar pada mega-mega. Siluet
itu seenaknya saja datang di hadap pandanganku, aku sungguh bingung akan hal
ini.
Aku terus meraba hati, menerka
perasaan, menggali fikiranku. Rindukah ini? Atau hanya angan kosong? Atau
bahkan denyut kebencian yang kembali berdetak kuat?
Memoar
lalu yang tak pernah ku sangka kembali menyapa. Rindukah? Ku ulangi lagi
pertanyaan itu pada hatiku, atau hanya luka kebencian yang kembali terulai?
Segala pertanyaan menerjangku. Haah… entahlah akupun mulai tersenyum sinis berfikir
itu hanya memoar lalu yang telah menggores luka.
Lambat
fikiranku kembali ke peristiwa beberapa tahun lau, klise-klise gambar yang
telah usang kini berputar di otakku, membentuk slide yang tidak beraturan. Ku
coba menyusun kembali urutan-urutan peristiwa itu, lalu fikiranku mulai
menerawang jauh ke masa lalu.
“Din, seratus meter lagi”, seru Ahmad dengan nafas
tersengal.
Aku sudah mulai lelah, jalan
setapak telah aku lalui. Ahmad di sampingku terlihat kelelahan, namun saat aku
memandangnya, ia selalu tersenyum seolah ia tak merasakan kelelahan sedikitpun.
Hari ini, mungkin hanya kami berdua yang nekad mendaki gunung . Aku dan Ahmad
bersahabat sejak kecil. Mendaki adalah kebiasaan kami sejak SMP. Kami rutin
mendaki gunung ini setiap libur semester
walau hanya untuk memandang
indahnya kota Malino dengan siluet jingga.
Lima
menit lagi, birunya langit akan berganti dengan indahnya siluet jingga.
Beberapa langkah lagi untuk menggapai puncak, tapi tiba-tiba kakiku tersandung
pada akar pohon nan besar. Aku tersungkur lalu terjerembab di atas tanah, lalu
dengan sigap Ahmad menggapai tanganku
lalu membantuku untuk bangkit.
“Kamu gak apa-apa, Din?”, tanyanya dengan nada khawatir.
“Hehehe, iya. Gak apa-apa kok”, kataku sambil menatap mata
Ahmad.
Tak
dapat ku sangsikan, entah mengapa aku selalu tenang saat menatap mata itu.
Tatapannya memupus sukma yang haus. Yang membuat aku terdampar dalam imaji yang
tak kunjung usai tentangnya. Menepi dalam cekung matanya, memahat nama dalam
palung sanubari. Goyah ku ayun lengan berhimpit ribuan jiwa pemujanya. sayang,
suka, cinta. Ini sesakkan rasa.
Huuhhhhhhhhh.. Eluhan panjang itu
mengakhiri pendakian kami menuju puncak. Aku terduduk di samping Ahmad,
memandangi indahnya semburat jingga sang langit. Sungguh indah.
“Din, aku mau ngomong
sesuatu sama kamu”, katanya dengan tatapan tak biasa.
“Mungkin ini terdengar aneh atau lucu tapi sungguh ini
benar-benar nyata”.
Ia tetap menatapku lamat-lamat, aku balas tatapannya dengan
tatapan tak biasa pula..
“Maksud kamu?”, tanyaku.
“Din, sungguh aku sangat mencintaimu. Maafkan aku bila aku
menodai persahabatan kita dengan perasaan ini. Maafkan aku, Din”
“Tak akan ku maafkan!”, kataku dengan nada yang ku tekan.
“……………”
Ahmad diam dan tertunduk dalam duduknya.
“Tak akan ku maafkan, karena kamu gak punya salah sama aku,
Mad”, Aku mulai bicara.
“Maksud kamu?”, tanyanya dengan pandangan yang meminta
penjelasan.
“Ya, aku juga mencintaimu Ahmad”, jelasku.
Ahmad
kemudian mengeluarkan Edelweis yang sejak tadi disembunyikannya didalam jaket tebalnya,
lalu meletakkannya di atas telingaku..
Sungguh
indah hari itu, aku merasa wanita paling bahagia di dunia ini. Aku sungguh
mencintainya, benih cinta ini terus tumbuh besar beriring aku selalu
bersamanya.
Namun kebahagiaanku tak berlangsung lama, aku tak tahu bagaimana awalnya hingga ia pergi
tanpa ku ketahui. Ia pergi tanpa pesan, tanpa kata, bahkan tak ku sangka.
Kepergiannya telah memporak-porandakan hatiku.
Ku berjalan melangkah melewati
getirnya arus hidup ini. Desahan nafas yang tertahan, kegelisahan yang tak
kunjung usai dan rindu yang selalu menggebu.
Namun ku bertekad untuk terus
bertahan, walau hanya kehampaan yang selalu menemaniku. Aku tak mengert, mengapa semua ini terjadi. Hidupku
gelap tanpa sedikit cahayamu menerangi.
Dan aku diam tak memahami.
Sore
ini, aku kembali menatap senja dan tanpa sengaja aku kembali mengorek luka lama
yang telah lama kering. Sore ini hujan turun lagi bersama kenanganku denganmu.
Hanya diary usang ini yang selalu menemaniku dalam kesepianku. Ia tak bosan mendengar
curahan hatiku tentangmu, tentang rinduku, tentang cintaku yang tak kunjung
usai dan tentang cintamu yang tak kunjung kembali
21
Maret 2012
Dear diary
Hujan mengguyur
kepercayaanku hingga luntur membentuk bingkai hitam di tepi mataku.
Mempercayakan hati padamu adalah kesalahan, menitipkan rindu padamu juga
kesalahan. Jadi sejak awal aku tengah bergemul dengan kesalahan hingga akhirnya
kesalahan mempermainkan aku.
Memunguti serpihan
hati, membentuknya lagi menjadi sekeping ati dengan pita merah muda.
Aku terluka tertikam
tajamnya serpihan hati, darah membasahi sadar yang lelah mengucur bersama benci
juga dengki.
Tatap aku kini!!
Aku di sini sendiri
membawa hati yang berlumur kecewa. Berharap kau dating memanggilku, memasuki
gubukku di tengah hujan yang menghijam kulit tipis.
Mengelus hati yang
berlumur duka, menerjang hujan malam ini.
Berlari membawa perih.
Ah!! Tak ada lagi dirimu, aku rindu, masih rindu.
Aku rindu kau mengeja
namaku, masih rindu.
Duniaku tak terang
lagi, langkahku semakin sempit dengan duri
Sayapku tak terkepak
di langit tinggi, ragaku mulai tak sehat semakin hari.
Ke kanan sepi,
Ke kiri tiada arti,
Ke depan terhalangi,
Mundur ke belakang
sama saja bunuh diri.
Datanglah malaikat hati,
obati aku biar bisa berdiri.
Bukan saja untuk hari
ini, tapi rawatlah aku sampai waktu berhenti.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(Tugas akhir bahasa Indonesia kelas XII)