Friday, February 28, 2014

Dear, You!

6 tahun berlalu, hampir tak ada yang berubah dari tempat ini. Hanya ada beberapa bangunan baru yang terlihat lebih megah dibanding dengan bangunan lainnya.

Aku berjalan menelusuri jejak-jejak kenangan. Dari gerbang ini, teringat saat pertama kali kita bertemu. Pada saat penerimaan siswa baru, aku menangkap matamu sedang menatapku. Aku berbalik menatapmu, lalu bibirmu merekah membentuk 1 senyuman sempurna. Senyum yang membuatku ikut tersenyum.  Ya, semua berawal dari senyuman itu.

Aku kembali berjalan, menelusuri bangunan yang masih sangat jelas di ingatanku. Bangunan yang ku masuki saat hari pertama sekolah. Alangkah terkejutnya aku saat itu, tiba-tiba saja kau muncul didepan pintu, menyambutku dengan senyummu yang.. manis. Aku ikut tersenyum lalu berjalan mengikuti langkah kakimu menuju bangku. Aku dan kamu duduk bersisian, itu permintaanmu saat itu. Sejak saat itu, kita menjadi sering bersama.

Kau lebih banyak tersenyum dari pada bicara, dan aku pasti akan ikut tersenyum kala itu.  Dan aku akhirnya menarik kesimpulan bahwa senyummu itu menular.

Kala itu kita masih remaja. Aku masih terlalu polos untuk mengartikan perasaan senang yang tiba-tiba muncul saat kau berada di dekatku atau perasaan sedih saat kau  tak hadir di kelas.

Semuanya berlalu begitu cepat, hingga akhirnya Sang Hakim Kehidupan mengetuk palu sidangnya 3 kali.
Hari itu kau tidak hadir di kelas. Aku mengkhawatirkanmu sepanjang pelajaran, menanyakan kepada seisi kelas namun tak ada yang tau kau dimana. Ketika jam istirahat, aku mencarimu di UKS, tapi kau tidak ada di sana. Aku semakin cemas.
Tiba-tiba aku melihatmu keluar dari ruangan kepala sekolah, diapit oleh kedua orang tuamu. Kau menghampiriku, lalu memberiku secarik kertas. Lagi-lagi kau tak banyak bicara, kau hanya tersenyum yang lagi-lagi membuatku ikut-ikutan tersenyum meski pikiranku telah dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang membuat hatiku ingin berteriak menangis.

Sejak hari itu, kau tak pernah lagi kulihat. Teman-teman bilang, kau pindah ke sekolah elit di kotamu. Sekali dua kali aku mencoba menghubungi nomer telepon rumah yang kau tuliskan d kertas itu, namun tiap kali telpon itu terangkat, aku menutupnya.

6 tahun berlalu, aku masih aku yang dulu. Aku yang selalu mencari keberadaanmu meski tak pernah kutemui titik terang.

Hari ini, aku kembali menitipkan pesan rindu untukmu. Rindu yang mungkin tak tau kapan ia sampai ke tempatnya harus berlabuh.

Untuk kamu, yang mungkin kini berada di belahan bumi yang lain.

2 comments:

  1. ahaaaai de' akhirnya ditulis juga :p

    ReplyDelete
  2. Saya tidak tahu betul kalau tulisannya based on true story atau fiksi, ah saya pernah merasakan juga dulu :)

    ReplyDelete