Nama : Nurul Inayah Khairaty
NIM : 121 444 1034
Kelas : Biology ICP B
Salah satu hasil
pendidikan yang dapat kita lihat dan nikmati saat ini adalah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Tak dapat disangsikan eksistensi dan
kemajuan teknologi sangat membantu dalam kelangsungan hidup manusia, termasuk
sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang terdidik. Dengan eksistensi
teknologi tersebut manusia kini dituntut untuk cerdas,terampil, kreatif dan
kompetitif. Namun, apakah dengan eksistensi dan kemajuan teknologi tersebut
dapat dijadikan acuan keberhasilan dari suatu proses pendidikan?
Di berbagai media
seringkali kita menyaksikan pejabat-pejabat tinggi negara yang terlibat dalam
kasus KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Setelah tindak lebih lanjut ternyata
pelakunya adalah mereka yang telah mengunyah, mengenyam dan menelan
mentah-mentah pendidikan. Pernahkah Anda mendengar seorang lulusan SMP atau SMA
melakukan korupsi? Jawabannya adalah hampir tidak ada. Justru mereka adalah
orang-orang yang merupakan output pendidikan yang memiliki pengetahuan melangit
yang “katanya” juga lulusan terbaik dari perguruan tinggi terbaik pula. Tak
jarang sebagian dari mereka sudah bergelar Prof atau Dr. Tapi bukankah mereka
juga adalah hasil atau product pendidikan? Ironisnya, hal ini juga sering
terjadi di lingkungan pendidikan (akademisi atau insan pendidik) yang notabene
adalah tempat di mana transfer of knowledge dan transfer of value
berlangsung (meski terkadang value itu terlupakan).
Apa yang terjadi di
Indonesia saat ini merupakan gambaran hasil pendidikan bangsa kita selama ini.
Majunya teknologi dan banyaknya sarjana sebagai output pendidikan adalah
bukti nyata dari proses pendidikan.
Namun di sisi lain, banyaknya kaum intelek (sarjana) yang menganggur akibat “tidak
layak pakai” seakan membuat kita “melek” bahwa pendidikan sebenarnya belum bisa
menjamin masa depan kita.
Secara tidak langsung,
hal-hal tersebut menyadarkan kita bahwa pendidikan selama ini hanya mengejar
kuantitas tanpa kualitas. Saat kemajuan ilmu dan teknologi berkembang pesat secara
kuantitatif, pendidikan justru terdegradasi secara kualitatif. Realitas ini
menunjukkan bahwa ada sesuatu yang terabaikan sehingga mengurangi
kebenaran pendidikan.
Bagaimana mengukur
kebenaran pendidikan?
Pendidikan tak dapat
diukur hanya dengan kacamata ijazah. Karena hal ini akan mereduksi kualitas
pendidikan. Anak didik dituntut agar bisa mendapat nilai yang bagus dengan cara
apapun, seperti dalam pelaksanaan ujian
nasional (meskipun dengan cara yang tidak jujur), padahal ijazah hanyalah
formalitas bahwa seseorang telah melewati jenjang pendidikan. Adanya “kongkalikong”
dalam pelaksanaan ujian tersebut secara tidak langsung sebenarnya telah mendidik
anak didik untuk berperilaku tidak jujur. Lagi-lagi pendidikan mengabaikan sesuatu.
Untuk mengukur, yang
paling pertama ditentukan adalah acuan. Pendidikan yang benar adalah pendidikan
yang mengarahkan ke arah positif. Kebenaran pendidikan adalah hasil dari
proses pendidikan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang tepat sehingga menghasilkan
manusia dan masyarakat yang terdidik.
Latar belakang pendidikan
yang tinggi tidak bisa menjadi refleksi manusia dan masyarakat terdidik. Seperti
kasus yang telah disebutkan di atas, mereka adalah manusia terpelajar (memiliki
latar pendidikan yang tinggi) namun belum bisa dikategorikan sebagai manusia
terdidik. Lalu bagaimana sebenarnya manusia terdidik itu? Dan bagaimana
peranannya dalam masyarakat?
Orang terdidik adaah
orang yang berpendidikan tidak hanya pendidikan formal saja tetapi juga
pendidikan nonformal. Sebetulnya orang dikatakan terdidik itu jika dia bisa
menempatkan diri dengan baik. Contohnya didalam bermasyarakat, orang terdidik
pasti memiliki tempat atau posisi yang lebih tinggi dan lebih dihormati. Berbeda
dengan jika kita bersikap kurang baik di dalam masyarakat, tentunya kita akan
mendapatkan cap sebagai orang yang tak berpendidikan walaupun mungkin kita
pernah “makan bangku sekolah” juga. Orang berpendidikan juga pasti memiliki
sopan santun yang baik, bisa bertutur kata dengan baik, dan juga bisa membawa
diri. Mengapa bisa demikian, karena pendidikan tidak hanya memberi pengetahuan
saja tetapi juga membentuk kepribadian seseorang (Anonim, 2011).
Jadi, manusia terdidik adalah manusia yang
telah dididik melalui proses pendidikan secara sistematik yang membentuk kepribadian
dan kedewasaan pada dirinya. Dengan kata lain, output pendidikan adalah
manusia yang cerdas baik secara intelektual, spiritual dan emosional.
Ibarat rumah tangga, ketiga hal ini adalah pondasi utama yang harus dimiliki
oleh setiap insan pendidikan untuk membangun rumah yang bermoral dan beradab. Ketika
salah satu pondasi hilang, maka hancurlah seluruhnya.
Kasus KKN yang yang
sering terjadi di tanah air adalah cerminan manusia yang hanya berorientasi
pada intelektual semata. Mereka kehilangan dua pondasi utama, yaitu spiritual
dan emosional. Dua hal inilah yang sering diabaikan dalam dunia
pendidikan saat ini. Padahal, kedua hal tersebut sama pentingnya dengan
kecerdasan intelektual dalam membentuk manusia yang terdidik. Mereka kehilangan
kesadaran, kemandirian dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar sehingga
menjadikannya insan pendidikan yang “bengis” namun cerdas secara intelektual.
Kecerdasan intelektual inilah yang digunakannya untuk bisa
menduduki jabatan yang tinggi lalu dengan kebengisanya itulah ia “menempatkan
sesuatu yang tidak pada tempatnya”.
Pendidikan memiliki peran
penting dalam kehidupan ini, olenya itu sudah sepantasnya ada reformasi
paradigma pendidikan. Yang tadinya hanya berorientasi pada satu pondasi yaitu
kecerdasan intelektual yang diformulasikan dalam bentuk ijazah, menjadi lebih
memperhatikan dua pondasi lainnya itu kecerdasan spiritual dan emosional yang
dapat diperoleh dari “proses” pendidikan itu sendiri serta aplikasinya di
masyarakat sehingga terwujudlah manusia terdidik, bermoral dan beradab.
DAFTAR
PUSTAKA
what should i say.. it so good.. karena saya tidak bisa membuat yang lebih bagus dari itu,, sebenarnya masih banyak yang bisa di uraikan sih,heheh tapi itu sudah cukup kok.. hahah
ReplyDelete# no comment \_^'^_/
Dibatasi 3 halaman.
ReplyDelete