Monday, October 1, 2012

Senja...


Terduduk, termangu sendiri disore hari menatap langit lewat celah jendela, gelap serasa  berpeluk erat bersama langit hingga menutupi biru sang langit. Itu yang selalu kulakukan saat sore. Tapi sore ini berbeda, sore itu lembayung senja menyapa beriring senyum ronanya, sungguh indah. Bahkan sangat indah. Hanya terpana, tanpa kedipan sedikitpun. Menatap langit menengadah dagu. Yaa.. Itulah kebiasaanku.
                Tiba-tiba aku tersontak bingung ketika melihat siluetnya tergambar pada mega-mega. Siluet itu seenaknya saja datang di hadap pandanganku, aku sungguh bingung akan hal ini.
Aku terus meraba hati, menerka perasaan, menggali fikiranku. Rindukah ini? Atau hanya angan kosong? Atau bahkan denyut kebencian yang kembali berdetak kuat?
                Memoar lalu yang tak pernah ku sangka kembali menyapa. Rindukah? Ku ulangi lagi pertanyaan itu pada hatiku, atau hanya luka kebencian yang kembali terulai? Segala pertanyaan menerjangku. Haah… entahlah akupun mulai tersenyum sinis berfikir itu hanya memoar lalu yang telah menggores luka.
                Lambat fikiranku kembali ke peristiwa beberapa tahun lau, klise-klise gambar yang telah usang kini berputar di otakku, membentuk slide yang tidak beraturan. Ku coba menyusun kembali urutan-urutan peristiwa itu, lalu fikiranku mulai menerawang jauh ke masa lalu.
“Din, seratus meter lagi”, seru Ahmad dengan nafas tersengal.
Aku sudah mulai lelah, jalan setapak telah aku lalui. Ahmad di sampingku terlihat kelelahan, namun saat aku memandangnya, ia selalu tersenyum seolah ia tak merasakan kelelahan sedikitpun. Hari ini, mungkin hanya kami berdua yang nekad mendaki gunung . Aku dan Ahmad bersahabat sejak kecil. Mendaki adalah kebiasaan kami sejak SMP. Kami rutin mendaki gunung ini setiap libur semester  walau hanya untuk  memandang indahnya kota Malino dengan siluet jingga.
                Lima menit lagi, birunya langit akan berganti dengan indahnya siluet jingga. Beberapa langkah lagi untuk menggapai puncak, tapi tiba-tiba kakiku tersandung pada akar pohon nan besar. Aku tersungkur lalu terjerembab di atas tanah, lalu dengan sigap Ahmad  menggapai tanganku lalu membantuku untuk bangkit.
“Kamu gak apa-apa, Din?”, tanyanya dengan nada khawatir.
“Hehehe, iya. Gak apa-apa kok”, kataku sambil menatap mata Ahmad.
                Tak dapat ku sangsikan, entah mengapa aku selalu tenang saat menatap mata itu. Tatapannya memupus sukma yang haus. Yang membuat aku terdampar dalam imaji yang tak kunjung usai tentangnya. Menepi dalam cekung matanya, memahat nama dalam palung sanubari. Goyah ku ayun lengan berhimpit ribuan jiwa pemujanya. sayang, suka, cinta. Ini sesakkan rasa.
Huuhhhhhhhhh.. Eluhan panjang itu mengakhiri pendakian kami menuju puncak. Aku terduduk di samping Ahmad, memandangi indahnya semburat jingga sang langit. Sungguh indah.
 “Din, aku mau ngomong sesuatu sama kamu”, katanya dengan tatapan tak biasa.
“Mungkin ini terdengar aneh atau lucu tapi sungguh ini benar-benar nyata”.
Ia tetap menatapku lamat-lamat, aku balas tatapannya dengan tatapan tak biasa pula..
“Maksud kamu?”, tanyaku.
“Din, sungguh aku sangat mencintaimu. Maafkan aku bila aku menodai persahabatan kita dengan perasaan ini. Maafkan aku, Din”
“Tak akan ku maafkan!”, kataku dengan nada yang ku tekan.
“……………”
Ahmad diam dan tertunduk dalam duduknya.
“Tak akan ku maafkan, karena kamu gak punya salah sama aku, Mad”,  Aku mulai bicara.
“Maksud kamu?”, tanyanya dengan pandangan yang meminta penjelasan.
“Ya, aku juga mencintaimu Ahmad”, jelasku.
                Ahmad kemudian mengeluarkan Edelweis yang sejak tadi disembunyikannya didalam jaket tebalnya, lalu meletakkannya di atas telingaku..
                Sungguh indah hari itu, aku merasa wanita paling bahagia di dunia ini. Aku sungguh mencintainya, benih cinta ini terus tumbuh besar beriring aku selalu bersamanya.
Namun kebahagiaanku tak berlangsung lama,  aku tak tahu bagaimana awalnya hingga ia pergi tanpa ku ketahui. Ia pergi tanpa pesan, tanpa kata, bahkan tak ku sangka.
Kepergiannya telah memporak-porandakan hatiku.
Ku berjalan melangkah melewati getirnya arus hidup ini. Desahan nafas yang tertahan, kegelisahan yang tak kunjung usai dan rindu yang selalu menggebu.
Namun ku bertekad untuk terus bertahan, walau hanya kehampaan yang selalu menemaniku. Aku tak  mengert, mengapa semua ini terjadi. Hidupku gelap tanpa sedikit cahayamu menerangi.
Dan aku diam tak memahami.
                Sore ini, aku kembali menatap senja dan tanpa sengaja aku kembali mengorek luka lama yang telah lama kering. Sore ini hujan turun lagi bersama kenanganku denganmu. Hanya diary usang ini yang selalu menemaniku dalam kesepianku. Ia tak bosan mendengar curahan hatiku tentangmu, tentang rinduku, tentang cintaku yang tak kunjung usai dan tentang cintamu yang tak kunjung kembali                                                                
                                                                                                                                                                21 Maret 2012
Dear diary
Hujan mengguyur kepercayaanku hingga luntur membentuk bingkai hitam di tepi mataku. Mempercayakan hati padamu adalah kesalahan, menitipkan rindu padamu juga kesalahan. Jadi sejak awal aku tengah bergemul dengan kesalahan hingga akhirnya kesalahan mempermainkan aku.
Memunguti serpihan hati, membentuknya lagi menjadi sekeping ati dengan pita merah muda.
Aku terluka tertikam tajamnya serpihan hati, darah membasahi sadar yang lelah mengucur bersama benci juga dengki.
Tatap aku kini!!
Aku di sini sendiri membawa hati yang berlumur kecewa. Berharap kau dating memanggilku, memasuki gubukku di tengah hujan yang menghijam kulit tipis.
Mengelus hati yang berlumur duka, menerjang hujan malam ini.
Berlari membawa perih. Ah!! Tak ada lagi dirimu, aku rindu, masih rindu.
Aku rindu kau mengeja namaku, masih rindu.
Duniaku tak terang lagi, langkahku semakin sempit dengan duri
Sayapku tak terkepak di langit tinggi, ragaku mulai tak sehat semakin hari.
Ke kanan sepi,
Ke kiri tiada arti,
Ke depan terhalangi,
Mundur ke belakang sama saja bunuh diri.
Datanglah malaikat hati, obati aku biar bisa berdiri.
Bukan saja untuk hari ini, tapi rawatlah aku sampai waktu berhenti.

                --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

(Tugas akhir bahasa Indonesia kelas XII)

No comments:

Post a Comment